Coretan diri – malam ketikan hitam – 9 April 2009
Perubahan merupakan salah satu lagu yang pernah ada di kancah permusikan, dan perubahan pula pernah terjadi dalam wacana perpolitikan sehingga melahirkan kata sakral pada dekade kekinian. Reformasi yang pernah didendangkan kini seperti bangunan kosong tanpa penghuni sehingga melahirkan seperti mistik yang menakutkan, pertanyaannya ada apa semua ini?
Perkumpulan demi perkumpulan masyarakat kini menyatu membentuk barisan dalam susunan organisasi politik (orpol), pergerakan demi pergerakan kini bergandengantangan melebur dalam wadah organisasi massa (ormas), dan mereka masing-masing memperebutkan kekuasaan dengan berdalih pada kata perubahan dan bersesumbar pada kalimat reformasi, meraka berlomba-lomba unjuk besarnya massa dalam rangka ikut percaturan politik, namun hingga kini bentuk perpolitikan seperti apa yang diciptakan oleh para penerbit politik itu?
Bangsa ini didirikan oleh para pejuang kemerdekaan, negeri ini di susun oleh para pecinta merah putih, negara ini di bentuk oleh para anti penjajahan, dan kini saatnya mencatat kebesaran nama Indonesia di setiap kolong dunia. Masa demi masa sudah berganti, sistem orde lama sudahlah di lalui, masa orde baru selesailah di lewati, dan kini orde roformasi mengalami kefakuman jalan di tempat, entah mengapa dan apa sebab pula? Pemerintahan sistem presidensil sudah pernah diterapkan, sistem parlementer mencoba pula dilaksanakan, namun tetap pada hasil akhir para insan-insan reformis saling berebut adu kekuatan untuk bisa duduk disinggasana istana, mereka saling bersilat jurus untuk siapa yang berhak menaiki burung garuda, mereka berlomba pacu bakal siapa yang akan terbang mengelilingi khatulistiwa dengan bentangan sayap pancasila menuju gerbang istana melalui jalan Indonesia, dan disitulah letak azimat stempel cap kepresidenan itu berada, dan begitulah arena perpolitikan di kawasan merah putih itu berlaku, begitulah gaya Indonesia berpolitik, lalu pertanyaannya perlukah wasit? Dan siapa, apakah sosok manusiakah?
Sudah sekian periode kejelataan kita itu menanti cahaya sejahtera, sekian episode pula kepapaan kita itu menunggu angin bahagia, lalu sejauh manakah pola perpolitikan kita itu diterapkan dalam rangka memberikan cahaya sejahtera dan angin bahagia untuk massanya, sudah merasa gerah kaum ini berpolitik, sudah tidak mempercayai lagi umat ini berpolitik, sehingga karena ketidakpuasan dengan gaya perpolitikan Indonesia yang semakin tahun pemilu semakin semerawut maka umat ini ada yang berungkap bahwa sistem politik Indonesia mengandung sistem Syetan, gaya demokrasi Indonesia berunsur gaya kufur.
Dan kini kesalahan apakah sehingga tanah yang kita pijak ini retak, air yang kita tampung itu tumpah, api pun menjalar kuasa mengkikis habis suasana persatuan, angin pun ikut mengamuk meruntuhkan kondisi kesatuan, entah apa lagi musibah yang di alami umat bangsa ini? Seolah-olah azimat stempel itu bertuah meminta sesaji. Ada apa gerangan ini?.
Perpolitikan Indonesia sampai detik ini belum ada kata sepakat antara para pemegang politik, dan memang itulah Indonesia adanya. Nafas empat lima kini tersendat-sendat, burung garuda pun terbang terseok-seok, jalan Indonesia kini berjubel sesak antrian menuju gerbang istana memperebutkan tiket kursi keramat, lalu bagaimana dengan sikap umat terhadap para pemegang politik itu? pergolakan perpolitikan di pertiwi ini bagaikan pesta kenirwanaan, foto-foto magic terpampang di semenanjung aspal, slogan-slogan berkerlipan di lorong jalan, dan memang inilah adanya. Lalu pertanyaannya siapakah yang memainkan peran perpolitikan untuk menjinakkan burung garuda itu? siapakah yang berhak memiliki azimat stempel itu?
Perubahan merupakan salah satu lagu yang pernah ada di kancah permusikan, dan perubahan pula pernah terjadi dalam wacana perpolitikan sehingga melahirkan kata sakral pada dekade kekinian. Reformasi yang pernah didendangkan kini seperti bangunan kosong tanpa penghuni sehingga melahirkan seperti mistik yang menakutkan, pertanyaannya ada apa semua ini?
Perkumpulan demi perkumpulan masyarakat kini menyatu membentuk barisan dalam susunan organisasi politik (orpol), pergerakan demi pergerakan kini bergandengantangan melebur dalam wadah organisasi massa (ormas), dan mereka masing-masing memperebutkan kekuasaan dengan berdalih pada kata perubahan dan bersesumbar pada kalimat reformasi, meraka berlomba-lomba unjuk besarnya massa dalam rangka ikut percaturan politik, namun hingga kini bentuk perpolitikan seperti apa yang diciptakan oleh para penerbit politik itu?
Bangsa ini didirikan oleh para pejuang kemerdekaan, negeri ini di susun oleh para pecinta merah putih, negara ini di bentuk oleh para anti penjajahan, dan kini saatnya mencatat kebesaran nama Indonesia di setiap kolong dunia. Masa demi masa sudah berganti, sistem orde lama sudahlah di lalui, masa orde baru selesailah di lewati, dan kini orde roformasi mengalami kefakuman jalan di tempat, entah mengapa dan apa sebab pula? Pemerintahan sistem presidensil sudah pernah diterapkan, sistem parlementer mencoba pula dilaksanakan, namun tetap pada hasil akhir para insan-insan reformis saling berebut adu kekuatan untuk bisa duduk disinggasana istana, mereka saling bersilat jurus untuk siapa yang berhak menaiki burung garuda, mereka berlomba pacu bakal siapa yang akan terbang mengelilingi khatulistiwa dengan bentangan sayap pancasila menuju gerbang istana melalui jalan Indonesia, dan disitulah letak azimat stempel cap kepresidenan itu berada, dan begitulah arena perpolitikan di kawasan merah putih itu berlaku, begitulah gaya Indonesia berpolitik, lalu pertanyaannya perlukah wasit? Dan siapa, apakah sosok manusiakah?
Sudah sekian periode kejelataan kita itu menanti cahaya sejahtera, sekian episode pula kepapaan kita itu menunggu angin bahagia, lalu sejauh manakah pola perpolitikan kita itu diterapkan dalam rangka memberikan cahaya sejahtera dan angin bahagia untuk massanya, sudah merasa gerah kaum ini berpolitik, sudah tidak mempercayai lagi umat ini berpolitik, sehingga karena ketidakpuasan dengan gaya perpolitikan Indonesia yang semakin tahun pemilu semakin semerawut maka umat ini ada yang berungkap bahwa sistem politik Indonesia mengandung sistem Syetan, gaya demokrasi Indonesia berunsur gaya kufur.
Dan kini kesalahan apakah sehingga tanah yang kita pijak ini retak, air yang kita tampung itu tumpah, api pun menjalar kuasa mengkikis habis suasana persatuan, angin pun ikut mengamuk meruntuhkan kondisi kesatuan, entah apa lagi musibah yang di alami umat bangsa ini? Seolah-olah azimat stempel itu bertuah meminta sesaji. Ada apa gerangan ini?.
Perpolitikan Indonesia sampai detik ini belum ada kata sepakat antara para pemegang politik, dan memang itulah Indonesia adanya. Nafas empat lima kini tersendat-sendat, burung garuda pun terbang terseok-seok, jalan Indonesia kini berjubel sesak antrian menuju gerbang istana memperebutkan tiket kursi keramat, lalu bagaimana dengan sikap umat terhadap para pemegang politik itu? pergolakan perpolitikan di pertiwi ini bagaikan pesta kenirwanaan, foto-foto magic terpampang di semenanjung aspal, slogan-slogan berkerlipan di lorong jalan, dan memang inilah adanya. Lalu pertanyaannya siapakah yang memainkan peran perpolitikan untuk menjinakkan burung garuda itu? siapakah yang berhak memiliki azimat stempel itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar