Kenangan
dalam mengisi majalah dinding
Ikatan Remaja Masjid (IRMA) Baiturrahman
Ikatan Remaja Masjid (IRMA) Baiturrahman
Desa
pekandangan-Indramayu pada tanggal
17 April 2005
B
|
angsa
Indonesia merupakan bangsa yang bermartabat dan disitulah kemartabatan
masyarakat itu ada walaupun Indonesia ber-ideologi pancasila namun masyarakat
tetap berpegang pada aturan-aturan Ilahiyah, dan kini bangsa Indonesia
mengalami krisis multidimensi yang berimbas secara beruntun mulai dari krisis
ekonomi, krisis politik, krisis sosial, sampai merambat ke krisis moral, krisis
etika, krisis akhlak sehingga mengundang kepiluan mendalam dan tangisan negeri
pun terpecahkan dengan suara-suara jeritan dimana-mana membuat nusantara
berduka.
Perahu layar yang kita naiki dan kita
bangga-banggakan kini retak, perahu yang berwarna merah putih kini pecah hampir
terpilahkan lalu pertanyaannya “kesalahan siapakah ini, siapa yang
bertanggungjawab, kenapa bisa terjadi?”, jawablah pada dirimu dan tanyakan pada
hatimu, kalau tidak jua menemukannya kumpulkan semua nyawa-nyawa yang hidup dan
berenunglah atau apa perlu masalah bencana ini diseminarkan.
Kalau kita baca tarikh akan sedikit kita
akan merasa tertegun sejenak, kenapa demikian? disitu ada ibrar bahwa
ketahuilah sesungguhnya bumi Allah itu luas maka carilah nafkah rizki dimana
saja makhluk berada dan dimana saja bumi Allah itu ada tetapi jangan
sekali-kali manusia merusak bumi, andaikan kalau kerusakan bumi itu terjadi
oleh tangan-tangan ulah manusia maka akan terjadilah ketidakrelaan bumi itu
sendiri yang mengakibatkan bumi pun bergoyang. Coba kita melirik alam ini
khususnya dalam lingkaran nusantara musibah demi musibah bertubi-tubi, bencana
demi bencana melanda pertiwi silih berganti, badai gelombang meluluhlantahkan
tonggak-tonggak kehidupan, angin topan bergantian menyapu rumah, gempa bumi
menggulung yang namanya kehidupan, gunung pun ikutan marah memuntahkan lahar,
banjir ikut meratakan keindahan, kebakaran berkilat-kilat menyambar, entah
apalagi bentuk bencana itu dan semua ini diakibatkan oleh ulah tangan-tangan
manusia itu sendiri yang tidak menjaga alam walaupun hakekatnya tetap hak Tuhan
yang mengatur segalanya, pertanyaannya lagi “apa penyebab semua ini, siapa yang
disalahkan, kepada siapa yang bertanggungjawab”.
Pastilah semua bencana itu membuat kita
sedih, resah gelisah, menangis dan memang itulah kodrati manusia. Lalu
pemerintah sebagai pemegang kendali perlindungan kenyamanan langsung menyekak dengan
ucapan ‘ini sekedar bencana nasional, sekedar bencana alam semata’. Oh inikah
para penguasa berucap, tidakkah mereka merasakan apa yang dirasakan oleh
orang-orang yang kena bencana itu! mereka hanya memakai otak belaka berucap.
Entahlah siapa yang salah bencana itu terjadi, apakah masyarakat sekitar yang
merusak bumi ataukah para penguasa yang semena-mena gemar atas kedholimannya.
Sadarlah wahai para penguasa, sadarlah wahai kawan dan bercerminlah pada
semesta bahwa bencana terjadi akibat keingkaran manusia terhadap Sang Pencipta
Alam Jagat ini.
Kini Indonesia menangis dan matahari pun
jadi saksi dalam bencana alam ini, pertanyaannya “apakah salah kita dalam
berpijak di bumi ini, ataukah alam sudah tidak bersahabat dengan kita?” apa
jawabmu. Bencana dikatakan cobaan bagi manusia yang kurang mantap dengan adanya
yang menciptakan alam dan janji-janji Firman-NYA, bencana dikatakan ujian bagi
manusia yang sudah mempercayai adanya Tuhan namun keyakinannya masih berkurang,
bencana dikatakan adzab bagi manusia yang memang ingkar terhadap Tuhan yang
menciptakan alam semesta, lalu pendapat kalian bencana itu dikatakan seperti
apa, silahkan jawabanmu kawan.
Al Qur’an sudah mengisyaratkan dalam
Firman-NYA bahwa “sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum
kecuali dengan merubah dengan diri sendiri” artinya benahi dulu pribadi kita
masing-masing sebelum mengubah khalayak ramai alias marilah kita
menginstropeksi diri dan mulaila dari diri sendiri dalam membenahi kehidupan
ini.
Lalu ada pertanyaan? siapkah kita
mengubahnya, mampukah kita berubah, kapankah kita merubahnya, atau sudahkah
kita melakukan perubahan? Jawablah pada hatimu.
Sampai kapankah bencana negeri ini akan
usai, sampai kapan musibah ini berhenti…berhenti…berhenti…siapkah perahu layar
kita benahi, siapkah merah putih kita warnai lagi, kapankah nusantara
tersenyum, siapa yang tidak ingin bangsa kita damai, negeri kita sejahtera
rakyatnya makmur, negara yang barokah dalam bingkai ‘Baldatun Toyyibatun
Warabbun Ghafur’ sungguh sangat diharapkan. Lalu pertanyaannya lagi siapkah
kita dan mampukah kita memperbaiki perahu yang retak itu?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar